Breaking News

Sekolah Douma Jadi Sorotan Rekonstruksi Suriah

Pemerintahan baru di Suriah kembali menjadi perhatian publik setelah beredarnya sebuah video berjudul “Sekolah Menengah Douma untuk Anak Laki-laki… Dibangun oleh Tangan Suriah” dari channel Misk Media. Video berdurasi 1 menit 25 detik itu menampilkan suasana sebuah sekolah yang direhabilitasi dan diresmikan, lengkap dengan pemandangan udara, arsitektur bangunan, hingga fasilitas di dalamnya. Namun, di balik kemeriahan peresmian tersebut, muncul pertanyaan besar mengenai nasib rekonstruksi yang selama bertahun-tahun digembar-gemborkan oleh rezim Assad.

Sejak oposisi mundur dari sekitar Damaskus pada tahun 2018, banyak sekolah, masjid, dan fasilitas umum lainnya terbengkalai. Enam tahun lamanya, bangunan-bangunan vital itu dibiarkan rusak tanpa perawatan. Bahkan sejumlah laporan menyebut, bukan sekadar terbengkalai, melainkan justru dirusak untuk diambil besi, kusen, dan material lain yang masih bernilai. Hal ini membuat publik bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dilakukan rezim Assad terkait janji rekonstruksi?

Fakta bahwa baru sekarang fasilitas seperti sekolah di Douma diperbaiki menimbulkan kesan bahwa ada pembiaran sistematis selama masa kekuasaan Assad. Kota-kota besar seperti Hama, Idlib, Deir Ezzour, hingga Aleppo, memiliki jejak serupa, di mana sekolah, masjid, dan gedung layanan masyarakat lain nyaris tidak tersentuh pembangunan.

Video yang dirilis Misk Media pada 19 September 2025 memperlihatkan suasana semarak di halaman sekolah. Tampak banyak orang hadir dalam acara peresmian, memperlihatkan upaya pemerintah baru untuk mengembalikan rasa normalitas di Douma. Aula sekolah dengan kursi merah, lorong bersih, hingga ruang kelas dengan meja dan kursi, menjadi bukti nyata bahwa fasilitas ini kini siap digunakan.

Namun bagi sebagian masyarakat, peresmian tersebut bukan hanya tentang sebuah sekolah, melainkan simbol kegagalan Assad menjaga infrastruktur publik. Bagaimana mungkin selama lebih dari satu dekade konflik, rezim yang selalu mengklaim diri sebagai penjaga negara justru membiarkan generasi muda tanpa sekolah layak?

Laporan-laporan dari Aleppo dan Deir Ezzour memperkuat gambaran serupa. Banyak masjid yang hancur tidak diperbaiki, sekolah dibiarkan roboh, sementara sejumlah bangunan publik dijarah secara sistematis. Besi dan kusen-kusen bangunan dicabut, diduga untuk dijual kembali sebagai bahan bekas.

Kontras dengan kondisi itu, pemerintahan baru mulai menunjukkan gerak cepat. Di Damaskus, proyek rehabilitasi fasilitas pendidikan mulai dikerjakan. Hal yang sama juga dilakukan di Hama dan Idlib. Walau belum menyeluruh, langkah ini setidaknya menjadi sinyal bahwa perhatian terhadap kebutuhan dasar masyarakat kembali menjadi prioritas.

Pertanyaan besar kemudian mengemuka: jika dalam hitungan bulan pemerintahan baru bisa melakukan perbaikan, mengapa Assad tidak melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun? Padahal, rezim Assad kerap menekankan keberhasilan dalam menjaga stabilitas dan rekonstruksi.

Di Douma sendiri, kondisi sekolah yang baru diresmikan itu menjadi bukti nyata bahwa narasi rekonstruksi sebelumnya hanyalah slogan. Bagaimana mungkin sebuah kota hanya memiliki sekolah layak setelah enam tahun penuh kerusakan dan keterlantaran?

Masyarakat Douma merespons dengan beragam perasaan. Sebagian merasa lega karena anak-anak akhirnya bisa kembali ke bangku sekolah dengan fasilitas yang lebih layak. Namun sebagian lainnya tidak bisa menutupi rasa marah karena bertahun-tahun mereka merasa ditinggalkan.

Aleppo, kota yang dahulu menjadi pusat perdagangan Suriah, juga menjadi contoh betapa lambannya upaya rekonstruksi. Banyak keluarga di sana harus menyekolahkan anak-anak mereka di bangunan darurat, atau bahkan tidak bisa bersekolah sama sekali karena ketiadaan fasilitas.

Di Idlib dan Deir Ezzour, kondisi lebih kompleks. Selain kerusakan akibat perang, ada laporan mengenai penghancuran bangunan publik setelah wilayah itu kembali dikuasai pemerintah. Hal ini membuat kecurigaan publik semakin besar bahwa rezim Assad memang sengaja mengabaikan kebutuhan dasar warga.

Kehadiran pemerintahan baru kini menjadi pembanding yang mencolok. Dengan langkah-langkah awal memperbaiki sekolah dan masjid, mereka mencoba mengembalikan kepercayaan masyarakat. Meski tentu tantangan ke depan masih besar, sinyal perubahan ini terlihat lebih nyata daripada sekadar pidato politik.

Video dari Misk Media sendiri mendapat perhatian luas di media sosial. Banyak warganet mengomentari betapa ironisnya bahwa baru sekarang rekonstruksi berjalan, padahal rezim Assad selama ini terus menggaungkan keberhasilan pembangunan.

Kenyataan bahwa gedung-gedung publik dirusak untuk diambil materialnya semakin memperkuat narasi bahwa masa lalu penuh dengan pengabaian. Masyarakat kini berharap agar praktik semacam itu tidak terulang di bawah pemerintahan baru.

Dalam konteks pendidikan, sekolah Douma yang diperbaiki menjadi simbol penting. Ia bukan hanya sebuah bangunan fisik, melainkan harapan baru bagi anak-anak yang telah lama kehilangan hak belajar. Peresmian ini juga menjadi pesan bahwa Suriah sedang mencoba bangkit dari keterpurukan.

Pemerintahan baru pun kini ditantang untuk membuktikan bahwa perbaikan Douma bukan sekadar pencitraan. Mereka harus memastikan bahwa kota-kota lain, termasuk Aleppo, Idlib, dan Hama, juga mendapatkan perhatian serupa.

Bagi warga Suriah, rekonstruksi nyata jauh lebih penting daripada retorika politik. Mereka ingin melihat masjid kembali ramai, sekolah kembali hidup, dan layanan publik kembali berjalan. Semua itu menjadi tolok ukur nyata dari legitimasi kekuasaan.

Sekolah Douma mungkin hanyalah satu dari sekian banyak fasilitas yang diperbaiki. Namun gaungnya meluas hingga ke seluruh negeri karena ia menunjukkan betapa besar perbedaan antara janji lama dan tindakan nyata hari ini.

Kini, mata dunia dan rakyat Suriah menunggu: apakah langkah awal ini akan berlanjut menjadi kebijakan luas, ataukah hanya sebatas simbol belaka. Yang jelas, bayang-bayang kelalaian rezim Assad masih terlalu segar untuk dilupakan.

Tidak ada komentar